Waktu aku masih duduk di bangku SMP, hanya karena bertabrakan secara tidak sengaja dengannya kami bisa dekat, sangat dekat. Hanya karena dia bilang tidak bisa Bahasa Inggris aku mau mengajarinya. Aku, Jimmy, 17 tahun mahasiswa smester satu, yang ingin aku katakan bukan cerita cinta. Meski itu adalah hal yang mungkin paling sering dibicarakan di kalangan remaja apalagi cewek, tapi aku tidak berniat membuat mereka ingin mendengarkan sebagai kisah romantis, ini kisah tragis. Ya... paling tragis aku rasa.
Hampir tiap pagi sebelum kuliah aku sarapan di warung opor langgananku, selain aku suka kuah, yang jelas karena di sana murah,...dekat kos cewek, salah satunya.
Aku bisa kenal mereka, cewek-cewek dengan mudah, hanya butuh beberapa jam agar kami bisa akrab layaknya sahabat. Kata mereka yang pernah kenalan seperti ini, aku orang yang sangat out going, easy going, pokoknya yang enak diajak going. Tapi, aku tidak pernah tertarik berteman dengan anak itu, teman sekelasku satu-satunya yang belum pernah aku ajak bercanda, hanya sekedar menyapa dan itupun kadang tidak dibalasnya. Bukannya aku berharap diperhatikan cewek yang kata seluruh mahasiswa cowok di kampusku paling wonder, tidak bukan itu. Hana terlalu beda dengan yang lainnya. Secara fisik tentu saja. Sifat, dia punya banyak teman. Materi, biaya hidupku sebulan bagi dia hanya seminggu. Otak, aku tidak tahu pasti, yang jelas pada pembagian hasil ujian kemarin dia di bawah nilaiku yang dapat B.
Di awal aku bilang ini kisah tragis, tapi yang aku ceritakan barusan tidak menujukan tanda bahwa ada masalah berat antara kami. Memang bukan konflik dengan aku, tapi kakak kembaranku, Jemmy. Aku tidak pernah dikasih tahu detail kehidupannya, selain dia suka jalan-jalan juga pacaran, bahkan pernah kuliat pacaran dengan cewek yang usianya sangat kontras, pernah lebih muda lima tahun bahkan lebih tua tujuh tahun. Yang seusia juga banyak. Ya sebatas itu saja dia mau memberi tahu aku. Tentang aku sendiri, kata ibu aku punya kelainan tidak tertarik dengan anak cewek. Jangan kira aku homo, ini disebut sindrom jejaka. Aneh kedengarannya. Jemmy saja sering meledek dengan mengajak aku kencan, tentu saja bercanda. Hanya saja belakangan aku rasa ajakan Jemmy membuat aku kawatir. Meski kami benar-benar kembar identik, tetap ada saja hal yang tidak bisa aku pahami.
”Jimmy...mau masuk kelompokku untuk presentasi Aljabar minggu depan?”
Ini pertama kalinya Hana mengajak aku bicara, entah dia tahu dari siapa kalau aku sedikit menguasai Aljabar.
”hmm? E iya. Apa bagian yang aku kerjakan?”
”Mempresentasikannya, bisa kan, ini modulnya, terimakasih ya, duluan.”
Berlalu begitu saja. Menurutku itu yah...sopan untuk ukuran anak sekarang, atau karena yang diajak bicara adalah aku maka dia jadi seenaknya gitu? Tak apa sih, hanya saja dia kan tidak akrab denganku.
”Hoi, akhirnya...kau bakal akrab dengan dia, Jimm,”
”Aku...?! heran, bagaimana bisa dia pikir aku bisa Aljabar?”
”Aku yang beri tahu, kau kan jagonya. He.he.he”
Lalu.....ya, berlalu begitulah hari pertama Hana berbicara dengan aku. Selanjutnya tiap kuliah, dia menyapa, tersenyum dan duduk dekat aku. Pertama kali ada yang mendekati aku sedemikian gencar dan semangatnya, seperti kata Terry mungkin saja dia tertarik dengan sesuatu yang aku punya, tapi apa?
”Jimmy?! Beneran yah, jadi kalau pergantian jam kuliahnya lama kamu nongkrong di sini yah? Lihat apaan sih?”
Tempat yang aku rasa surga, sepi tapi tempatnya nyaman. Lantai empat gedung tiga, koridor depan lab. Bahasa dan broadcast.
”...dari sini semua kota kelihatan, nggak semua karena terhalang gedung kampus sebelah, tapi cukup buat cari inspirasi.”
Aku bicara seperti biasanya, aku rasa demikian. Sambil memandang muka orang yang aku ajak bicara. Senyum sedikit, dengan nada ringan...yah..kurasa normal.
”KITA... PACARAN. KAU MAU ’KAN JIMMY”
”....”
Tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Hana, dengan keras dia bicara hingga petugas kebersihan yang lagi kerja keluar dari kamar mandi sambil menenteng ember dan sikat lantai melihat ke arahku sambil keheranan. Heran soalnya aku tampak bingung dengan apa yang barusan aku dengar.
”Serius kau? Salah orang kali.”
”Nggak, kamu Jimmy ’kan!!! Kenapa tiap kali aku ajak bicara di kampus selalu dingin gitu sih!! Kau bilang aku cantik, kau bilang suka aku, kau bilang mau selalu bantuin aku, kau bilang juga mau jadian, tapi kenapa tiap malam minggu ini nggak pernah datang ke rumah lagi, kapan kita kencan lagi, kenapa tiba-tiba berubah!!!”
Aku dimarahi, tanpa sebab, aku jadi yakin dia salah orang. Kapan aku bilang itu semua? Rumahnya juga aku belum tahu, dimana memang alamatnya? Kencan? Waktu itu sih pernah diajak Jemmy, tapi itu tidak masuk hitungan kencan. Hmm.......? kalau aku buat pemikiran ada dua Jimmy, berarti yang ketemu Hana palsu karena jelas aku tidak melakukan itu. Kalau double ganger...mustahil masih satu negara, satu hal yang mungkin, aku punya saudara kembar yang bener-bener playboy. Yah, analisa yang logis. Masuk akal jika Jemmy ngaku-ngaku sebagai aku, soalnya kampusnya beda. Dia paling bisa masukin aku dalam masalah berat.
” A.. satu bulan masa percobaan, kalau aku mengecewakan pecat saja aku.”
Ya, itu perkataan yang keluar dari mulutku. Selanjutnya berusaha mencari tahu apa yang diinginkan Jemmy dari aku. Aku lihat dia senyum, lagi-lagi aku merasa nggak beres. Makin nggak beres Jemmy nggak pernah bisa aku hubungi, kosnya pindah tanpa ngabari, orang rumah juga tidak diberi tahu. Dan yang amat sangat nggak beres, Hana sudah melewati dua minggu masa percobaan pacaran denganku. Padahal aku tidak berniat pacaran dengan dia. Bukan karena apa, tapi aku suka cewek lain. Tragis. Lebih tragis lagi cewek yang aku suka jadian sama Jemmy, dia juga salah mengenali kami.
”Hoi...adik luguku, lagi mikir apaan? Serius banget.”
Akhirnya muncul juga, mahluk konyol yang bikin masalah runyam.
”Ngapain kau ke kosku, mau bikin perkara lain yang lebih bikin puyeng.”
”Aduh? Sakit kau? Kalau gitu aku tidur sini saja, biar tak jagain, mau ?”
”Tambah sakit aku dirawat kau, kenapa tiba-tiba pindah kos? ganti nomor juga ’kan? Kenapa kau malah pacaran sama Dee, padahal...aku pikir bisa jadian sama dia”
”Lho, kok gitu, harusnya kamu beterimakasih lho, kan kita bisa tukeran kencan, ngeBTin bareng Dee, anaknya gak gaul, tapi karena sudah terlanjur bikin janji kencan, kau saja yang pergi ya, Jimm. Hana biar aku yang urus.”
”...”
part 1 end